Dulu saya nggak menghargai nikmatnya kuliah. Sekarang saya baru ngerasain sendiri. Masih jauh lebih enak duduk manis sambil terkantuk-kantuk di ruang kuliah daripada memompa adrenalin di klinik.
Kecuali kalau :
1. Akses AC di klinik sudah merata.
2. Instruktur yang kooperatif. Yayaya, bukan nggak mungkin terbentuk antrean mengular naga di depan kubikel instruktur karena yang ditunggu sedang sibuk.... ngobrol ~no heart feeling~
3. Perenovasian kubikel dengan unit-unit uzur yang sudah layak dimuseumkan.
4. Dihapuskannya mbuletisasi pendaftaran pasien di kampus. Memang sih pada akhirnya saya terbiasa mendaftarkan pasien di loket, nunggu lama di kamar terima, masih harus nunggu lama lagi di emergency ~entah mengapa, budaya ngobrol sangat mendarah daging di negara ini~, baru pasien bisa dikerjakan. Tapi pasien saya ~yang notabene baru pertama kali datang ke klinik untuk dirawat~ kan jadi bingung... Mau nambal gigi aja mesti muter-muter kesana kemari dulu, nunggunya pake lama, lagi ! Pasien saya sih saya kasih pengertian : "Memang gitu mbak / mas... prosedurnya di kampus ya gini ini..."
Tapi kalau pasien itu bukan pasiennya mahasiswa ? Baru ngantre di depan kamar terima aja, paling dia udah kapok-kapok... Apalagi kalau mahasiswa yang nangani di kamar terima rada-rada hah-hoh. Makin kapok lah dia... Belum lagi di emergency kalau masih harus nunggu lama. Nah, udah berapa kapoknya ? Trus sama bapak di emergency pasti ditanyain : "Mau dirawat mahasiswa atau spesialis ?" diiringi tatapan mata sejumlah mahasiswa yang lagi butuh pasien mengelilingi kubikel emergency. Kapok ? Kayaknya sih iya... dan ketakutan pastinya. Akhirnya seandainya mau dirawat mahasiswa pun, ujung-ujungnya dia nggak kooperatif. Maunya pasti cepet dirawat, cepet selesai. Padahal mungkin mahasiswa yang bersangkutan kliniknya cuma Senin Kamis misalnya. Mbulet belibet memang... Pada akhirnya, pasien tersebut beralih ke spesialis. Dan mahasiswa S-1 jadi kesulitan mendapatkan pasien...
Entah aturan kayak gini siapa yang buat... saya sih nggak minta dirombak total. Cukup direvisi saja. Biar menguntungkan 3 belah pihak. Instruktur, mahasiswa, pasien. Biar sama-sama enak gitu lho...
Ohya by the way, numpang berpendapat aja sih. Kalau pasien lebih memilih mahasiswa pendidikan dokter gigi spesialis untuk merawat giginya daripada mahasiswa pendidikan dokter gigi, bagi saya itu hak pasien... Tapi kalau pasien tersebut bilang gini : "Nggak mau ah saya dirawat mahasiswa (mahasiswa S-1 seperti saya dan teman-teman maksudnya -red). Nanti gigi saya malah rusak semua." Itu yang bikin saya bete. Dan sakit hati. Sebegitu buruknya kah citra mahasiswa FKG di masyarakat ?
Lagian mau mahasiswa S-1 kek, mau mahasiswa spesialis kan statusnya sama-sama masih belajar. Ya toh ?
No comments:
Post a Comment
comments here